Senin, 21 Desember 2015

SATU PERSATU DOKTER INTERNSIP GUGUR DALAM MASA PENGABDIAN


Peristiwa meninggalnya dr. Dionisius Giri Samudra, salah seorang Dokter internsip alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin Makasar Yang baru bertugas di RSUD Cendrawasih Dobo, Kepulauan Aru, Tual, Maluku Tenggara seharusnya menjadi evaluasi pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan untuk berbenah diri.

Namun Baru-baru ini publik kembali dibuat geger kejadian serupa terjadi lagi kali ini dialami dr Nanda yang tewas saat bertugas di daerah yang sama, harapan ingin merubah nasib ia justru menjadi "tumbal" pemerintah saat bertugas.

Satu persatu para dokter intership gugur, terutama mereka yang di tempatkan dipelosok daerah, insiden ini tentu sangat ironis ditengah negeri membutuhkan banyak kalangan dokter, mereka justru dibiarkan dengan fasilitas yang minim. 

Kasus meninggalnya dokter Nanda pun membuat publik bertanya tanya bahkan kejadian ini cenderung ngawur, pasalnya tak banyak media yang tahu, pihak rumah sakit bahkan disebut juga sengaja menutup agar tidak menguap ke permukaan.

Dari sejumlah diagnosa dr Nanda diketahui meninggal karena penyakit gula, minimnya akses fasilitas lagi-lagi salah satu biang kerok penyebab gugurnya sejumlah dokter muda.

Namun ibu dari dr Nanda yaitu dr Cut Diah membantah atas berita bahwa anaknya meninggal karena penyakit gula sebab menurutnya anaknya tak pernah memiliki riwayat sakit gula bahkan keluarganya tak ada satupun yang mengidap diabetes.

Berdasarkan pengalaman sebagai dokter selama hampir 20 tahun, Cut Diyah yakin bahwa gejala penyakit yang merenggut nyawa putra pertamanya itu adalah malaria bukan karena gula.

Namun karena buruknya penanganan medis di RSUD Cenderawasih, Dobo dan evakuasi yang terlambat serta kesalahan diagnosa penyakit, menyebabkan kondisi dr Nanda kian memburuk. Bahkan saat di ICU di RSUD dr M Haulussy Ambon, putranya didiagnosa penyakit gagal ginjal dan sempat dimintai cuci darah.

Dilansir dari situs edisimedan.com dr Cut Diah mengatakan Ilmu medis manapun, penderita diabetes atau gagal ginjal tidak pernah suhu badannya meninggi, sementara yang dialami Nanda adalah panasnya tembus 40 derajat, bahkan Selama dua hari berada di ICU ia terus mengcek suhu tubuh anaknya, dan hasilnya di atas 40 derajat.

Cut Diah yakin, jika sejak awal pihak RSUD
Cenderawasih, Dobo cepat mengetahui gejala
penyakit malaria yang diidap putranya itu, tentu putra kesayangannya itu tidak sampai menderita hingga mengalami koma. Namun dia menduga, gejala penyakit putranya itu tidak dianggap pihak RS Cendrawasih.

“Mungkin karena masih bisa berjalan, putra saya tetap dipaksa bekerja hingga malam hari. Apalagi, beberapa hari sebelum dirujuk ke RS Ambon, Kepala RSUD Cendrawasih Dobo, Hendrik Hentije Darakay bilang, putra saya tidak apa-apa. Sehat- sehat saja,” Kata Cut Diah

Pihak keluarga mencurigai, pihak Kemenkes dan RS Dobo berusaha menutup-nutupi penyakit anaknya karena tidak ingin dianggap lalai dalam melindungi dokter internship yang menjalankan tugas di daerah terpencil. Karena itu, demi melindungi para dokter internship, pihak keluarga menyampaikan kebenaran ini, agar tidak ada lagi dokter internship yang meninggal dalam tugasnya.

Dijelaskan, sepekan sebelum meninggal, Cut Diah sudah merencanakan untuk membawa Nanda dirawat ke rumah sakit yang berada di Medan. Niat itu muncul karena putranya mengeluh tidak bisa makan dan minum karena sakitnya.

“Kami sudah memesan tiket untuk menjemput anak saya. Dan Senin (14/12) jam 7 pagi, kami sudah sampai di Bandara Pattimura. Bahkan, putra saya hari Sabtu, sudah membeli tiket pesawat pulang pergi, dari Kepuluan Aru menuju Ambon PP. Rencananya, begitu sampai Bandara
Pattimura, dia langsung kami terbangkan untuk dirawat di Medan,” Cut Diah menambahkan.

Begitu besar keinginan putranya itu untuk segera pulang dan dirawat di Medan, karena Nanda mengaku trauma dengan kejadian yang dialami rekan kerjanya di Dobo, dokter Andra yang juga meninggal dunia setelah dirawat di RS Ambon.

Namun nasib berkata lain. Tuhan lebih memilih alumni FK UISU itu untuk bersama rekan sejawatnya, dokter Andra menuju peristrahatan terakhir mereka.

“Ajal memang di tangan Tuhan. Tapi kami tidak puas dengan perlakuan pemerintah terhadap dokter internship. Pemerintah juga harus ikut bertanggungjawab,” pungkasnya.

Peristiwa tersebut tentu harus menjadi evaluasi pemerintah dalam hal ini Kemenkes yang harus bertanggung jawab, bahkan jika perlu Hentikan program Outsourcing Dokter Indonesia (Internship) tanpa jaminan kesejahteraan, keamanan, dan kesehatan yang layak. Jika negara membiarkannya maka dipastikan jumlah dokter internship yang gugur akan makin bertambah..

Sabtu, 19 Desember 2015

NASIB DOKTER INTERNSIP DI UJUNG TANDUK

Setiap 12 November, sejumlah tenaga kesehatan seluruh Indonesia merayakan Hari Kesehatan Nasional secara serentak. Tanggal ini dipilih karena menurut catatan sejarah diperingati hari yang sama pada tahun 1959, di mana ketika itu Sukarno mencanangkan Gerakan Pemberantasan Malaria dengan melakukan penyemprotan nyamuk secara simbolik di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Namun sayang disaat hari kesehatan ramai digelar disejumlah daerah, tanggal 12 November 2015 lalu justru mendapatkan kabar duka, alih- alih merayakan Hari Kesehatan Nasional dengan semangat memberantas penyakit layaknya 54 tahun lalu, tenaga kesehatan justru dibuat kaget dan disuguhkan kabar buruk secara mendadak atas Kematian dr. Dionisius Giri Samudra (dr Andra), salah seorang Dokter internsip alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin Makasar Yang baru bertugas di RSUD Cendrawasih Dobo, Kepulauan Aru, Tual, Maluku Tenggara selama 6 bulan.

Dokter Andra diketahui meninggal akibat encephalitis post morbili (peradangan otak yang diderita pasca infeksi morbili), tepat satu hari sebelum Hari Kesehatan Nasional, bahkan disebut sebut tewasnya dokter muda Andra karena minimnya fasilitas obat-obatan, sarana dan prasarana.

Nasib pekerja kesehatan Indonesia memang sungguh sangat miris, disaat orang lain beranggapan bahwa profesi dokter memiliki gaji selangit, justru tidak dirasakan bagi seorang dokter internsip, meski sudah menjadi dokter dan resmi disumpah pendapatan mereka sebagai dokter internsip nyatanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, praktis tak sedikit dari kalangan dokter internship mencari celah untuk tetap bisa bertahan hidup dengan bekerja sampingan.

Dokter Internsip sendiri jika disederhanakan bisa disebut sebagai dokter magang yang sengaja dipekerjakan pemerintah melalui kementerian kesehatan, hal ini jelas tercantum dalam permenkes no 299 tahun 2010, mereka para dokter internsip tersebut biasanya di plot ditempat-tempat terpencil yang jauh dari akses, di rumah sakit tipe C atau D dan diberi maksimal hanya dengan upah sebesar Rp 2.5 juta rupiah, upah tersebut bahkan belum termasuk potong pajak dan BPJS serta potongan-potongan lain yang tidak jelas.

Pasca tragedi tewasnya dokter Andra pemerintah pusat melalui kementerian kesehatan dalam hal ini Menteri Kesehatan Nina F Moeloek sempat melontarkan pernyataan manis bahwa gaji dokter internsip akan dinaikan, namun nyatanya hingga dengan hari ini perhatian pemerintah terhadap dokter internsip hanya sebatas wacana dan belum bisa dirasakan.

Peristiwa meninggalnya dokter internsip saat bertugas tenyata tidak hanya terjadi pada dokter Andra namun beberapa hari lalu kalangan dokter kembali berkabung atas kabar meninggalnya dokter intersip bernama dr Afrianda Novand (dr Nanda), bahkan banyak sederet dokter magang lain Satu persatu yang ditempatkan pemerintah melalui kementerian kesehatan tumbang, hal ini bukti negara belum siap menjamin kesejahteraan kalangan dokter terlebih soal akses kesehatan dan kesejahteraan bagi mereka.

Carut marut program dokter internsip di dalam negeri memang sungguh memprihatinkan, profesi dokter sebagai pejuang kesehatan nampaknya masih kurang diperhatikan terlebih bagi para dokter internsip, untuk bisa masuk dalam program dokter internsip saja bukan perkara mudah, dari sejumlah catatan, dokter muda yang sudah disumpah dan mendaftar sebagai dokter magang ternyata mereka harus menunggu untuk ditempatkan disejumlah daerah dengan rentang waktu 6 bulan sampai 1 tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Indonesia banyak memiliki tenaga dokter, tetapi sayang disaat mereka (dokter muda) siap bekerja justru pemerintah belum memfasilitasinya dengan baik bisa dibilang negara gagal paham.

Dari data kementerian kesehatan disebutkan bahwa program magang merupakan proses yang harus dilalui dokter yang baru lulus pendidikan dan telah memiliki ijazah serta melakukan sumpah dokter.

dokter muda yang telah menyelesaikan program magang akan memperoleh surat tanda registrasi sebagai legalitas oleh negara dan diakui untuk diberikan kewenangan penuh sebagai dokter.

Bahkan Berdasarkan evaluasi Kementerian Kesehatan pasca peristiwa meninggalnya dokter Andra, pemerintah berencana akan menaikan Biaya Hidup Dasar (BHD) Dokter dari Rp 2.5 juta menjadi Rp 3.5 sampai Rp 4 juta rupiah setiap bulannya, tetapi lagi-lagi rencana itu hanya isapan jempol, seolah kementerian kesehatan hanya "cuci tangan".

Data Kementerian kesehatan sendiri mencatat masih ada sebanyak 8.393 dokter magang yang hari  ini masih melangsungkan tugas beratnya mengabdi kepada negara di sejumlah pelosok tanah air.

Beratnya medan tempur yang dilakukan dokter magang dipelosok daerah tak sebanding apa yang diberikan pemerintah, terlebih soal insentif yang didapat, meski rencana kenaikan BHD (Biaya Hidup Dasar) masih abu-abu alias belum jelas. Kita berharap niat baik negara ingin mensejahterakan dokter perlu di amini bersama. Mampukah negara memberikan perubahan proses pendidikan Kedokteran ke arah yang lebih baik untuk menjadikan Indonesia benar-benar hebat ?