Sekarang saya baru mempunyai kesempatan untuk
membuat tulisan tentang prosedur dan system pendidikan Dokter di Indonesia.
Disini saya juga akan memberitahu teman-teman yang belum paham bagaimana
sebenarnya yang terjadi di lapangan dan meluruskan semua pernyataan Ibu Menteri
Kesehatan, yang menurut saya beliau sedang kelelahan dan Beliau adalah manusia
biasa yang bisa saja salah, sehingga harus ada dari kita untuk meluruskan semua
kekhilafan beliau.
Tulisan saya ini saya buat atas dasar kemirisan saya
terhadap system Pendidikan Kesehatan Indonesia serta peristiwa wafatnya sejawat
saya Dr. Dionisius Giri Samudra (Andra), dokter internsip penempatan RSUD
Cenderawasih Dobo Kep. Aru, Maluku Tenggara, penempatan periode Mei Tahun 2015,
karena Encephalitis Post Morbilli.
Jadi alur pendidikan kedokteran di Indonesia :
Mahasiswa harus menamatkan jenjang S1 selama lebih
kurang 7 semester atau 3,5 tahun, bila ada yg mau di perbaiki atau perbaikan
perbaikan berarti harus mengulang SKS di bawah nilai B, jadi range mungkin sekitar
3,5 tahun s/d 4 tahun. Setelah semua SKS sudah terpenuhi maka akan di wisuda
untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked).
Setelah wisuda kemudian harus menyelesaikan
kepanitraan klinik atau yang biasa disebut koas (ko-asisten) normalnya selama
lebih kurang 2 tahun, lama nya tergantung bila ada perbaikan-perbaikan nilai
yang harus dilakukan.
Setelah tamat dokter, perjalanan belum selesai lagi
karena masih ada yang harus diselesaikan yaitu penembusan ijazah Dokter dengan
cara kita harus LULUS Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang
diselenggarakan oleh AIPKI yaitu perkumpulan Dekan di Seluruh Indonesia, dengan
regulasi jadwal tiap 3 bulan sekali yaitu bulan 2, 5, 8 dan bulan 11 tiap
tahunnya. Jika tidak lulus lulus maka ijazah Dokter tidak akan pernah dikasih
sampai kapanpun serta tidak akan bisa melanjutkan proses pendidikan selanjutnya
yaitu Sumpah, Wisuda dan Internsip.
Setelah lulus UKDI, maka kita akan mendapatkan
Sertifikat Kompetensi (SERKOM) dari KDPI IDI dengan menunjukkan bukti bahwa
kita benar-benar sudah lulus UKDI.
Kemudian baru kita bisa di wisuda serta mendapatkan
ijazah dokter dan bisa melaksanakan lafal Sumpah Dokter, karena syarat untuk di
wisuda adalah harus mempunyai sertifikat kompetensi.
Berarti “kertas berharga” di tangan kita sudah ada yaitu
Serkom dan Ijazah Dokter.
Fungsi Serkom adalah untuk bisa wisuda dokter
sedangkan fungsi dari ijazah dokter adalah untuk mendapatkan Surat Tanda
Registrasi (STR) sebagai persyaratan untuk mengikuti program Internsip.
Jadi prosedur yang harus dilakukan sangat banyak
dengan birokrasi yang sangat panjang.
Proses dari Internsip sendiri juga tidak mudah.
Karena pembukaan gelombang pemilihan Cuma 4 x dalam setahun yaitu bulan 2, 5, 8
dan 11 tiap tahunnya, dan ketika mendaftar syaratnya harus benar-benar komplit
kalau tidak berarti harus mendaftar ke gelombang berikutnya.
Nah, setelah proses pendaftaran syarat “berkas-berkas”
selesai, kita harus bersaing dengan ratusan sampai ribuan peserta dokter
internsip di seluruh Indonesia, yang biasanya quota wahana tempat internsip
lebih sedikit dibandingkan dengan peserta sehingga harus aja ada yang gugur dan
menunggu gelombang berikutnya lagi dan lagi. Walaupun kita berada pada gelombang
berikutnya, peserta tetap saja akan semakin membludak karena dokter yang di
wisuda di seluruh Indonesia juga semakin banyak.
Berarti mau tidak mau kita harus siap dengan
keterpaksaan ditempatkan di daerah terpencil rasa PTT tetapi gaji di bawah
buruh yaitu Rp 2.500.000 di potong pajak, potong ini itu, potong BPJS, de El
eL.
Jadi selama internsip kita Cuma dikasih Bantuan Hidup
Dasar (BHD) sekitar kurang dari Rp 2.500.000,- tidak ada penambahan ini itu,
tidak ada penanggungan makan, transportasi, asuransi kesehatan, jasa pelayanan,
kesejahteraan dan sebagainya dan itu sama rata di seluruh Indonesia.
Tetapi tidak dipungkiri ada beberapa daerah yang
memberikan insentif daerah tetapi itu juga tidak banyak jumlah nominalnya serta sangat sedikit daerah yang
memberikan itu.
Seperti saya kemarin, saya mendapatkan BHD pertama
tidak utuh, yaitu Cuma sekita Rp 2.423.000,- saya tidak tahu itu pemotongan
apa.
Kalau tidak mau ditempatkan ditempat terpencil berarti kita harus menunggu gelombang berikutnya dan semakin lama kita semakin menua sehingga secara halus kita "dipaksa" untuk ke daerah terpencil tersebut dengan kesejahteraan tidak ditanggung.
Jadi jika dikatakan oleh MENKES gaji kita Rp
6.000.000, apalagi katanya diberikan oleh menteri keuangan itu fitnah dan
sangat tidak benar. Dan jika dikatakan juga dokter internsip itu adalah
Mahasiwa itu juga tidak benar karena kami sudah melakukan sumpah dokter dan
sudah di wisuda.
Tetapi penghargaan yang diberikan kepada dokter
internsip ini sangat tidak ada, tidak hanya masalah gaji tetapi permasalahan
disepelekan ama petugas medis selain dokter di setiap rumah sakit serta pasien karena masih
ada embel-embel internsip dibelakangnya.
Bahasa Internsip itu sendiri adalah “magang”, agak
keren sedikit karena memakai bahasa asing yaitu
“internsip”, jadi tidak kedengaran sekali bahwa itu artinya magang.
Internsip di rumah sakit tipe C atau D dengan tidak
mempertimbangkan daerah terpencil ataupun di tengah kota semuanya sama rata. Proses
pendampingan di rumah sakit tersebut selama setahun dan harus menyelesaikan
beberapa tugas dalam bentuk portofolio dan presentasi, serta tidak bole bekerja
dimanapun selain di wahana sendiri.
Dalam prosesnya sendiri kita wajib menyerahkan berkas-berkas untuk pembuatan kartu keanggotaan IDI dan SIP serta STR sementara. Sedangkan syarat di awal "dianjurkan" pembuatan BPJS sendiri karena pemerintah tidak akan menanggung asuransi kesehatan kepada kita jika terjadi apa-apa selama masa internsip.
Satu lagi yang paling penting adalah pemberian BHD itu sendiri sering sekali di rapel tiap 3 bulan sekali dengan alasan belum turunnya dana dari pemerintah. Para Dokter internsip terpaksa menerima karena berfikir "how to pass not how to learn" dalam proses internsip itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar