Minggu, 15 November 2015

CARUT MARUT PROSES PENDIDIKAN KEDOKTERAN INDONESIA




Sekarang saya baru mempunyai kesempatan untuk membuat tulisan tentang prosedur dan system pendidikan Dokter di Indonesia. Disini saya juga akan memberitahu teman-teman yang belum paham bagaimana sebenarnya yang terjadi di lapangan dan meluruskan semua pernyataan Ibu Menteri Kesehatan, yang menurut saya beliau sedang kelelahan dan Beliau adalah manusia biasa yang bisa saja salah, sehingga harus ada dari kita untuk meluruskan semua kekhilafan beliau.

Tulisan saya ini saya buat atas dasar kemirisan saya terhadap system Pendidikan Kesehatan Indonesia serta peristiwa wafatnya sejawat saya Dr. Dionisius Giri Samudra (Andra), dokter internsip penempatan RSUD Cenderawasih Dobo Kep. Aru, Maluku Tenggara, penempatan periode Mei Tahun 2015, karena Encephalitis Post Morbilli.

Jadi alur pendidikan kedokteran di  Indonesia :
Mahasiswa harus menamatkan jenjang S1 selama lebih kurang 7 semester atau 3,5 tahun, bila ada yg mau di perbaiki atau perbaikan perbaikan berarti harus mengulang SKS di bawah nilai B, jadi range mungkin sekitar 3,5 tahun s/d 4 tahun. Setelah semua SKS sudah terpenuhi maka akan di wisuda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked).

Setelah wisuda kemudian harus menyelesaikan kepanitraan klinik atau yang biasa disebut koas (ko-asisten) normalnya selama lebih kurang 2 tahun, lama nya tergantung bila ada perbaikan-perbaikan nilai yang harus dilakukan.

Setelah tamat dokter, perjalanan belum selesai lagi karena masih ada yang harus diselesaikan yaitu penembusan ijazah Dokter dengan cara kita harus LULUS Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diselenggarakan oleh AIPKI yaitu perkumpulan Dekan di Seluruh Indonesia, dengan regulasi jadwal tiap 3 bulan sekali yaitu bulan 2, 5, 8 dan bulan 11 tiap tahunnya. Jika tidak lulus lulus maka ijazah Dokter tidak akan pernah dikasih sampai kapanpun serta tidak akan bisa melanjutkan proses pendidikan selanjutnya yaitu Sumpah, Wisuda dan Internsip.

Setelah lulus UKDI, maka kita akan mendapatkan Sertifikat Kompetensi (SERKOM) dari KDPI IDI dengan menunjukkan bukti bahwa kita benar-benar sudah lulus UKDI.
Kemudian baru kita bisa di wisuda serta mendapatkan ijazah dokter dan bisa melaksanakan lafal Sumpah Dokter, karena syarat untuk di wisuda adalah harus mempunyai sertifikat kompetensi.
Berarti “kertas berharga” di tangan kita sudah ada yaitu Serkom dan Ijazah Dokter.

Fungsi Serkom adalah untuk bisa wisuda dokter sedangkan fungsi dari ijazah dokter adalah untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai persyaratan untuk mengikuti program Internsip.

Jadi prosedur yang harus dilakukan sangat banyak dengan birokrasi yang sangat panjang.
Proses dari Internsip sendiri juga tidak mudah. Karena pembukaan gelombang pemilihan Cuma 4 x dalam setahun yaitu bulan 2, 5, 8 dan 11 tiap tahunnya, dan ketika mendaftar syaratnya harus benar-benar komplit kalau tidak berarti harus mendaftar ke gelombang berikutnya.

Nah, setelah proses pendaftaran syarat “berkas-berkas” selesai, kita harus bersaing dengan ratusan sampai ribuan peserta dokter internsip di seluruh Indonesia, yang biasanya quota wahana tempat internsip lebih sedikit dibandingkan dengan peserta sehingga harus aja ada yang gugur dan menunggu gelombang berikutnya lagi dan lagi. Walaupun kita berada pada gelombang berikutnya, peserta tetap saja akan semakin membludak karena dokter yang di wisuda di seluruh Indonesia juga semakin banyak.

Berarti mau tidak mau kita harus siap dengan keterpaksaan ditempatkan di daerah terpencil rasa PTT tetapi gaji di bawah buruh yaitu Rp 2.500.000 di potong pajak, potong ini itu, potong BPJS, de El eL.
Jadi selama internsip kita Cuma dikasih Bantuan Hidup Dasar (BHD) sekitar kurang dari Rp 2.500.000,- tidak ada penambahan ini itu, tidak ada penanggungan makan, transportasi, asuransi kesehatan, jasa pelayanan, kesejahteraan dan sebagainya dan itu sama rata di seluruh Indonesia.

Tetapi tidak dipungkiri ada beberapa daerah yang memberikan insentif daerah tetapi itu juga tidak banyak jumlah  nominalnya serta sangat sedikit daerah yang memberikan itu.
Seperti saya kemarin, saya mendapatkan BHD pertama tidak utuh, yaitu Cuma sekita Rp 2.423.000,- saya tidak tahu itu pemotongan apa.

Kalau tidak mau ditempatkan ditempat terpencil berarti kita harus menunggu gelombang berikutnya dan semakin lama kita semakin menua sehingga secara halus kita "dipaksa" untuk ke daerah terpencil tersebut dengan kesejahteraan tidak ditanggung.

Jadi jika dikatakan oleh MENKES gaji kita Rp 6.000.000, apalagi katanya diberikan oleh menteri keuangan itu fitnah dan sangat tidak benar. Dan jika dikatakan juga dokter internsip itu adalah Mahasiwa itu juga tidak benar karena kami sudah melakukan sumpah dokter dan sudah di wisuda.

Tetapi penghargaan yang diberikan kepada dokter internsip ini sangat tidak ada, tidak hanya masalah gaji tetapi permasalahan disepelekan ama petugas medis selain dokter di setiap rumah sakit serta pasien karena masih ada embel-embel internsip dibelakangnya.

Bahasa Internsip itu sendiri adalah “magang”, agak keren sedikit karena memakai bahasa asing yaitu  “internsip”, jadi tidak kedengaran sekali bahwa itu artinya magang.


Internsip di rumah sakit tipe C atau D dengan tidak mempertimbangkan daerah terpencil ataupun di tengah kota semuanya sama rata. Proses pendampingan di rumah sakit tersebut selama setahun dan harus menyelesaikan beberapa tugas dalam bentuk portofolio dan presentasi, serta tidak bole bekerja dimanapun selain di wahana sendiri.

Dalam prosesnya sendiri kita wajib menyerahkan berkas-berkas untuk pembuatan kartu keanggotaan IDI dan SIP serta STR sementara. Sedangkan syarat di awal "dianjurkan" pembuatan BPJS sendiri karena pemerintah tidak akan menanggung asuransi kesehatan kepada kita jika terjadi apa-apa selama masa internsip.

Satu lagi yang paling penting adalah pemberian BHD itu sendiri sering sekali di rapel tiap 3 bulan sekali dengan alasan belum turunnya dana dari pemerintah. Para Dokter internsip terpaksa menerima karena berfikir "how to pass not how to learn" dalam proses internsip itu sendiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar