Selasa, 17 November 2015

GAJI ATAU BHD ???

Gaji atau BHD? 
Tulisan dr. Rahadi Widodo
Dionisius Giri Samodra, 24, dokter muda yang meninggal saat menjalani internship atau magang di Dobo, Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, tak punya jaminan kesehatan saat mulai bertugas. Sebab, pemerintah baru mewajibkan BPJS bagi para dokter internship, Oktober tahun ini.
Begitu, ya? Ternyata.
Seandainya berita meninggalnya dokter Andra tidak mencuat di media, hal ini tidak akan diketahui masyarakat umum. Kami para dokter pun baru tahu bahwa sebegitu dzalimnya pemerintah RI memperlakukan adik-adik kami, para dokter yang masih muda ini.
*Note : Dokter yang masih muda, bukan 'dokter muda'. DULU, sebutan dokter muda itu kami sematkan pada rekan-rekan co-assisten di RS Pendidikan. Sebutan yang lebih menghargai dibanding panggilan 'co-ass'.
Suatu kedzaliman nyata dari pemerintah, ketika mengirim seorang dokter untuk bertugas di institusi pelayanan kesehatan tanpa membekalinya dengan jaminan/asuransi kesehatan. Kita semua tahu, petugas kesehatan termasuk dokter, sangat rentan terpapar penyakit. Sungguh sadis kakak-kakak kita para dokter yang menjadi pejabat di Kemenkes RI, dengan "sengaja" membenturkan adik-adiknya pada penyakit, tanpa membekali jaminan apapun.
Barangkali, sumpah dokter untuk memperlakukan teman sejawat sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan, tidak berlaku lagi bagi dokter-dokter pejabat kemenkes.
Oh ya, bagi yang alergi dengan kritik terhadap pemerintahan sekarang. Maaf, saya tidak sedang mengkritik pemerintahan Bapak Jokowi. Program Internship ini adalah produk pemerintahan SBY. UU Pendidikan Kedokteran yang mengamanatkannya juga dibuat di masa SBY. Permenkes yang mengaturnya pun dibuat tahun 2010 (itulah maka Bu Menkes sekarang tidak tahu-menahu).
Pemerintahan era Jokowi justru 'lebih baik'. Yaitu mewajibkan dokter internship punya jaminan kesehatan sebelum diberangkatkan ke tempat tugas. Aturan itu baru berlaku Oktober tahun ini. Tapi baca lagi kalimat di atas. Poinnya adalah 'mewajibkan' bukan 'menyediakan'.
Prakteknya, para dokter internship tersebut diwajibkan menjadi anggota JKN/BPJS kesehatan dengan MEMBAYAR IURANNYA SENDIRI, alias JKN MANDIRI. Keren, nggak?!
Kalau ada pengusaha mewajibkan buruh di pabriknya untuk menjadi anggota JKN Mandiri dengan memaksa buruh itu membayar iurannya sendiri... apa itu namanya, dzalim bukan?!
Oh ya, kita sudah dengar penjelasan Kepala Badan PPSDM Kemenkes dr. Usman Sumantri tentang dokter-dokter internship ini. Bapak dokter yang pejabat itu sudah memaparkannya di tivi berkali-kali. Iya, kita paham. Dokter internship tidak termasuk golongan 'pegawai' di Kemenkes. Beda dengan dokter PTT. Karena bukan pegawai maka mereka tidak diberikan fasilitas sebagaimana pegawai pada umumnya.
Lantas APA sebenarnya mereka itu?
PEGAWAI bukan, MAHASISWA bukan.
*note (lagi) : Bu Menkes sudah minta maaf telah menyebut dokter internship sebagai mahasiswa. Sudah kita terima permintaan maafnya, kan?!
Sebagai BUKAN PEGAWAI, maka dokter internship tidak digaji. Apapun pekerjaan yang mereka lakukan, anggap saja itu kerja rodi. Iya, itu istilah di zaman belanda. Di zaman jepang, namanya romusha. Di jaman 'reformasi' namanya internship.
Kalau ada pengusaha mengadakan kegiatan magang untuk karyawannya, tanpa memberikan gaji... apa itu namanya, dzalim bukan?! Apakah pengusaha seperti itu akan dibiarkan saja oleh pejabat Disnaker setempat?
Apakah tenaga-tenaga kerja kita yang ikut program magang ke Jepang, Korsel, dll tidak digaji?
Tapi mereka menerima uang, kok? 2,5 juta per bulan?
Iya, tapi kata Bapak Kepala Badan PPSDM Kemenkes, itu bukan gaji. Itu bantuan biaya hidup.
Hmm... baiklah, bantuan biaya hidup.
BANTUAN? Tapi kenapa dikenakan pajak?
Pajak apa namanya? PAJAK BANTUAN BIAYA HIDUP? Memang ada, ya?
Coba rekan-rekan cari tahu, pajak apa itu. Kalau yang dipungut itu adalah PAJAK PENGHASILAN sebagaimana dikenakan terhadap pegawai pada umumnya, maka secara legal uang 2,5 juta itu adalah GAJI. Cuma Bapak Pejabat aja yang ngeles, supaya terbebas dari kewajiban memberikan fasilitas kepada 'pegawai' (yang tidak diakuinya) itu.
Program internship sudah (terlanjur) berjalan. UU Pendidikan Kedokteran yang mengamanatkannya sudah dibuat, diundangkan, dan 'tiba-tiba' muncul di tengah-tengah kita, sedang kebanyakan dari kita tergagap-gagap karena tidak mengetahui bagaimana asal-mulanya.
Bagi kita, yang tidak punya kuasa ikut-campur menyusun UU itu, wajar timbul pertanyaan, mengapa bikin program yang begitu rumit, aneh, dan komplex seperti internship ini?
Kalau tujuannya meningkatkan kompetensi dokter baru, mengapa tidak diserahkan mekanismenya ke Kementerian Pendidikan (apapun nama kementeriannya). Bukankah lebih sederhana kalau fakultas kedokteran bekerjasama dengan institusi pelayanan kesehatan setempat untuk membimbing dokter menjelang lulus? Semacam 'co-ass stase luar' begitu. Simpel, kan?
Penanggungjawabnya juga jelas, kementerian pendidikan. Tidak seperti sekarang. Kementerian pendidikan sudah lepas tangan karena mereka sudah diwisuda dan bukan mahasiswa lagi. Sementara Kementerian Kesehatan tidak juga mengurusi karena menganggap mereka 'bukan pegawai' (bahkan sempat disebut masih mahasiswa).
Terus siapa mereka?
Anak-anak yang kehilangan induknya.

rewrite...

PETISI TENTANG DOKTER INTERNSIP

DIB menyatakan keprihatinan mendalam atas musibah yang terjadi pada rekan sejawat Dr. Dionisius Giri Samudera yang bertugas di RSUD Cendrawasih Dobo, Maluku tenggara Kepulauan Aru. Dengan kejadian ini, semoga membuka mata para pemangku kebijakan untuk meninjau kembali kebijakan program ini. Adanya ketidakjelasan mengenai regulasi, koordinasi serta sistem penganggaran pada pelaksanaan program tersebut, menimbulkan beberapa masalah di lapangan sehingga yang dirugikan dalam hal ini adalah peserta yaitu Dokter Internsip. Menkes juga terkesan tidak memahami persoalan dan lempar tanggung jawab sehingga menimbulkan kegaduhan dan kebingungan bagi publik.

Di satu sisi, sesuai dengan Undang-undang Pendidikan Kedokteran No.20/2013 Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) bertujuan untuk meningkatkan kualitas kompetensi dokter, tetapi Pemerintah juga punya target lain yaitu untuk meratakan distribusi tenaga dokter hingga kedaerah-daerah terpencil dan daerah bermasalah. Inilah yang sering menimbulkan masalah di lapangan.

Maka DIB dengan ini menyatakan :
1. Menuntut Menteri Kesehatan untuk mencabut beberapa pernyataannya di media diantaranya bahwa Dokter Internsip masih berstatus mahasiswa melainkan sudah berstatus Dokter karena sudah disumpah, diwisuda, berijazah Dokter dan memiliki STR serta SIP, bahwa fasilitas kesehatan di RSUD Cendrawasih Dobo dianggap memadai sementara kenyataannya di lapangan dr.Dionisius direkomendasikan oleh dokter setempat untuk ditransfer ke fasilitas yang lebih lengkap.

2. Menuntut Kemenkes menjamin wahana dan pendamping yang terstandar karena tujuan penempatan Dokter Internsip adalah untuk peningkatan keterampilan dokter di lapangan.

3. Menuntut peningkatan BHD sesuai rekomendasi IDI tentang penghasilan Dokter sebagai kompensasi atas beban kerja dan resikonya sebagai seorang Dokter Internsip beserta jaminan kesehatan dan asuransi jiwa, termasuk tanggungan biaya proses evakuasi ke fasilitas yang lebih memadai.

4. Menuntut adanya legalitas hukum berupa kontrak kerja yang mencakup hak dan kewajiban peserta selama menjalani program.

5. Menuntut transparansi pemotongan pajak BHD yang dikenakan pada peserta 

6. Menuntut Kemenkes dan KIDI memotong masa tunggu internship, tidak melebihi tiga bulan karena merugikan calon Dokter internsip dari segi waktu dan materi.

7. Menuntut disediakan pusat pengaduan khusus bagi Dokter Internsip jika peserta mengalami kendala selama proses Internsip.

8. Menuntut Peranan IDI dalam mengawal permasalahaan Dokter internsip di wilayah masing-masing sebagai induk organisasi profesi yang berkewajiban melindungi serta mengayomi anggotanya.

Jakarta, 14 November 2015

Ttd. Presidium DIB
Tembusan :
1. Presiden RI
2. Menteri Kesehatan RI
3. Menteri Ristek Dikti RI
4. Ketua Komisi IX DPR RI
5. Ketua Komisi X DPR RI
6. Ketua Pengurus Besar IDI

Kita berharap teman-teman juga menandatangani petisi di bawah ini untuk perubahan pendidikan sistem pendidikan Kedokteran Indonesia semakin baik, khususnya untuk dokter-dokter yang mengabdi sebagai dokter Internsip dan dokter PTT.

Terima kasih...

https://www.change.org/p/menkes-nilamoeloek-penuhi-hak-hak-dokter-magang-yang-bertugas-di-daerah?recruiter=54348011&utm_source=share_petition&utm_medium=copylink

Minggu, 15 November 2015

CARUT MARUT PROSES PENDIDIKAN KEDOKTERAN INDONESIA




Sekarang saya baru mempunyai kesempatan untuk membuat tulisan tentang prosedur dan system pendidikan Dokter di Indonesia. Disini saya juga akan memberitahu teman-teman yang belum paham bagaimana sebenarnya yang terjadi di lapangan dan meluruskan semua pernyataan Ibu Menteri Kesehatan, yang menurut saya beliau sedang kelelahan dan Beliau adalah manusia biasa yang bisa saja salah, sehingga harus ada dari kita untuk meluruskan semua kekhilafan beliau.

Tulisan saya ini saya buat atas dasar kemirisan saya terhadap system Pendidikan Kesehatan Indonesia serta peristiwa wafatnya sejawat saya Dr. Dionisius Giri Samudra (Andra), dokter internsip penempatan RSUD Cenderawasih Dobo Kep. Aru, Maluku Tenggara, penempatan periode Mei Tahun 2015, karena Encephalitis Post Morbilli.

Jadi alur pendidikan kedokteran di  Indonesia :
Mahasiswa harus menamatkan jenjang S1 selama lebih kurang 7 semester atau 3,5 tahun, bila ada yg mau di perbaiki atau perbaikan perbaikan berarti harus mengulang SKS di bawah nilai B, jadi range mungkin sekitar 3,5 tahun s/d 4 tahun. Setelah semua SKS sudah terpenuhi maka akan di wisuda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked).

Setelah wisuda kemudian harus menyelesaikan kepanitraan klinik atau yang biasa disebut koas (ko-asisten) normalnya selama lebih kurang 2 tahun, lama nya tergantung bila ada perbaikan-perbaikan nilai yang harus dilakukan.

Setelah tamat dokter, perjalanan belum selesai lagi karena masih ada yang harus diselesaikan yaitu penembusan ijazah Dokter dengan cara kita harus LULUS Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diselenggarakan oleh AIPKI yaitu perkumpulan Dekan di Seluruh Indonesia, dengan regulasi jadwal tiap 3 bulan sekali yaitu bulan 2, 5, 8 dan bulan 11 tiap tahunnya. Jika tidak lulus lulus maka ijazah Dokter tidak akan pernah dikasih sampai kapanpun serta tidak akan bisa melanjutkan proses pendidikan selanjutnya yaitu Sumpah, Wisuda dan Internsip.

Setelah lulus UKDI, maka kita akan mendapatkan Sertifikat Kompetensi (SERKOM) dari KDPI IDI dengan menunjukkan bukti bahwa kita benar-benar sudah lulus UKDI.
Kemudian baru kita bisa di wisuda serta mendapatkan ijazah dokter dan bisa melaksanakan lafal Sumpah Dokter, karena syarat untuk di wisuda adalah harus mempunyai sertifikat kompetensi.
Berarti “kertas berharga” di tangan kita sudah ada yaitu Serkom dan Ijazah Dokter.

Fungsi Serkom adalah untuk bisa wisuda dokter sedangkan fungsi dari ijazah dokter adalah untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai persyaratan untuk mengikuti program Internsip.

Jadi prosedur yang harus dilakukan sangat banyak dengan birokrasi yang sangat panjang.
Proses dari Internsip sendiri juga tidak mudah. Karena pembukaan gelombang pemilihan Cuma 4 x dalam setahun yaitu bulan 2, 5, 8 dan 11 tiap tahunnya, dan ketika mendaftar syaratnya harus benar-benar komplit kalau tidak berarti harus mendaftar ke gelombang berikutnya.

Nah, setelah proses pendaftaran syarat “berkas-berkas” selesai, kita harus bersaing dengan ratusan sampai ribuan peserta dokter internsip di seluruh Indonesia, yang biasanya quota wahana tempat internsip lebih sedikit dibandingkan dengan peserta sehingga harus aja ada yang gugur dan menunggu gelombang berikutnya lagi dan lagi. Walaupun kita berada pada gelombang berikutnya, peserta tetap saja akan semakin membludak karena dokter yang di wisuda di seluruh Indonesia juga semakin banyak.

Berarti mau tidak mau kita harus siap dengan keterpaksaan ditempatkan di daerah terpencil rasa PTT tetapi gaji di bawah buruh yaitu Rp 2.500.000 di potong pajak, potong ini itu, potong BPJS, de El eL.
Jadi selama internsip kita Cuma dikasih Bantuan Hidup Dasar (BHD) sekitar kurang dari Rp 2.500.000,- tidak ada penambahan ini itu, tidak ada penanggungan makan, transportasi, asuransi kesehatan, jasa pelayanan, kesejahteraan dan sebagainya dan itu sama rata di seluruh Indonesia.

Tetapi tidak dipungkiri ada beberapa daerah yang memberikan insentif daerah tetapi itu juga tidak banyak jumlah  nominalnya serta sangat sedikit daerah yang memberikan itu.
Seperti saya kemarin, saya mendapatkan BHD pertama tidak utuh, yaitu Cuma sekita Rp 2.423.000,- saya tidak tahu itu pemotongan apa.

Kalau tidak mau ditempatkan ditempat terpencil berarti kita harus menunggu gelombang berikutnya dan semakin lama kita semakin menua sehingga secara halus kita "dipaksa" untuk ke daerah terpencil tersebut dengan kesejahteraan tidak ditanggung.

Jadi jika dikatakan oleh MENKES gaji kita Rp 6.000.000, apalagi katanya diberikan oleh menteri keuangan itu fitnah dan sangat tidak benar. Dan jika dikatakan juga dokter internsip itu adalah Mahasiwa itu juga tidak benar karena kami sudah melakukan sumpah dokter dan sudah di wisuda.

Tetapi penghargaan yang diberikan kepada dokter internsip ini sangat tidak ada, tidak hanya masalah gaji tetapi permasalahan disepelekan ama petugas medis selain dokter di setiap rumah sakit serta pasien karena masih ada embel-embel internsip dibelakangnya.

Bahasa Internsip itu sendiri adalah “magang”, agak keren sedikit karena memakai bahasa asing yaitu  “internsip”, jadi tidak kedengaran sekali bahwa itu artinya magang.


Internsip di rumah sakit tipe C atau D dengan tidak mempertimbangkan daerah terpencil ataupun di tengah kota semuanya sama rata. Proses pendampingan di rumah sakit tersebut selama setahun dan harus menyelesaikan beberapa tugas dalam bentuk portofolio dan presentasi, serta tidak bole bekerja dimanapun selain di wahana sendiri.

Dalam prosesnya sendiri kita wajib menyerahkan berkas-berkas untuk pembuatan kartu keanggotaan IDI dan SIP serta STR sementara. Sedangkan syarat di awal "dianjurkan" pembuatan BPJS sendiri karena pemerintah tidak akan menanggung asuransi kesehatan kepada kita jika terjadi apa-apa selama masa internsip.

Satu lagi yang paling penting adalah pemberian BHD itu sendiri sering sekali di rapel tiap 3 bulan sekali dengan alasan belum turunnya dana dari pemerintah. Para Dokter internsip terpaksa menerima karena berfikir "how to pass not how to learn" dalam proses internsip itu sendiri.